Kamis, 24 November 2016

HUBUNGAN PERUSAHAAN DENGAN STAKEHOULDER, LINTAS BUDAYA DAN POLA HIDUP, AUDIT SOSIAL

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

stakeholder dalam konteks ini adalah tokoh – tokoh masyarakat baik formal maupun informal, seperti pimpinan pemerintahan (lokal), tokoh agama, tokoh adat, pimpinan organisasi social dan seseorang yang dianggap tokoh atau pimpinan yang diakui dalam pranata social budaya atau suatu lembaga (institusi), baik yang bersifat tradisional maupun modern.

Pada dasarnya setiap kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam, pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal perusahaan maupun bagi eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan yang lain. Meskipun demikian nilai positif tersebut dapat mendorong terjadinya tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang akhirnya mempunyai nilai negatif, karena merugikan lingkungan, masyarakat sekitar atau masyarakat lain yang lebih luas. Nilai negatif yang dimaksud adalah seberapa jauh kegiatan perusahaan yang bersangkutan mempunyai potensi merugikan lingkungan dan masyarakat. Atau seberapa luas perusahaan lingkungan terjadi sebagai akibat langsung dari kegiatan perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka kami mendapatkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.   Bagaimana bentuk stakehoulder ?
2.   Apa definisi dari stereotype, predudice, stigma social ?
3.   Mengapa perusahaan harus bertanggung jawab ?
4.   Bagaimana komunitas Indonesia dan etika bisnis  ?
5.   Bagaimana dampak tanggung jawab social perusahaan ?
6.   Bagaimana mekanisme pengawasan tingkah laku ?

1.3 Tujuan Pembuatan Paper

Penulisan ini bertujuan untuk :
1.   Mengetahui bentuk stakehoulder
2.   Mengetahui definisi dari stereotype, predudice, stigma social
3.   Mengetahui mengapa perusahaan harus bertanggung jawab
4.   Mengetahui komunitas Indonesia dan etika bisnis  
5.   Mengetahui dampak tanggung jawab social perusahaan
6.   Mengetahui mekanisme pengawasan tingkah laku

1.4 Manfaat Pembuatan Paper

Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah agar para pembaca khususnya para calon pebisnis memiliki dan mengerti akan wawasan yang utuh mengenai bentuk stakehoulder, definisi dari stereotype, predudice, stigma social, mengapa perusahaan harus bertanggung jawab , komunitas Indonesia dan etika bisnis , dampak tanggung jawab social perusahaan, mekanisme pengawasan tingkah laku sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kegiatan bisnis yang real di masyarakat pada umumnya.

1.5 Metode Pembuatan Paper

Kami membuat makalah ini dengan beberapa metode antara lain :
1.   Kepustakaan yaitu mencari buku-buku yang berkaitan dengan materi yang kami bahas.
2.   Pencarian ilmu dan teori yang berkaitan dengan materi yang kami bahas melalui Internet     

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bentuk Stakeholder

Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu issu, stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok yaitu:

a.       Stakeholder Utama (Primer)
Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan.
Contohnya :
Masyarakat dan tokoh masyarakat, masyarakat yang terkait dengan proyek, yakni masyarakat yang di identifkasi akan memperoleh manfaat dan yang akan terkena dampak (kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari proyek ini. Sedangkan tokoh masyarakat adalah anggota masyarakat yang oleh masyarakat ditokohkan di wilayah itu sekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat. Di sisi lain, stakeholders utama adalah juga pihak manajer Publik yakni lembaga/badan publik yang bertanggung jawab dalam pengambilan dan implementasi suatu keputusan.

b. Stakeholder Pendukung (Sekunder)
Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah.
Yang termasuk dalam stakeholders pendukung (sekunder) :
·         Lembaga(Aparat) pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung.
·         Lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan.
·         Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) setempat : LSM yang bergerak di bidang yang bersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki concern (termasuk organisasi massa yang terkait).
·         Perguruan Tinggi yakni kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting dalam pengambilan keputusan pemerintah serta Pengusaha (Badan usaha) yang terkait sehingga mereka juga masuk dalam kelompok stakeholder pendukung.

c. Stakeholder Kunci
Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif dan instansi. Stakeholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level daerah kabupaten.
Yang termasuk dalam stakeholder kunci yaitu :
·         Pemerintah Kabupaten
·         DPR Kabupaten
·         Dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan.

2.2  Stereotype, Predudice, Stigma Sosial

Perusahaan pada dasarnya adalah suatu bentuk organisasi dengan kebudayaan yang spesifik yang hanya di miliki oleh perusahaan yang bersangkutan sehingga angota – anggota korporasi tersebut yang juga anggota sebuah komunitas.
Dalam kaitannya dengan perbedaan budaya da pola hidup yang ada sebagai lingkungan perusahaan yang bersangkutan, maka masalah akulturasi menjadi hal yang penting di perhatikan. Akulturasi atau dalam arti percampuran budaya antara satu komnitas dengan komunitas lain dapat terjadi ketika anggota komunitas melakukan interaksi sosial yang intensif.
Penyebaran pengetahuan budaya dari satu kelompok sosial (termasuk di dalamnya perusahaan) kepada perusahaan lainya mengandung pengaruh dari kebudayaan tertentu, sehingga diffusi (Pengaruh) ini dapat menjadi pengetahuan bagi kelompok lainnya.
Dapat kita identifikasi bahwa dominasi pengaruh global lebih kuat dari pada budaya komunitas indonesia itu sendiri. Penggunaan budaya dominan akan semakin sering kita akulturasi budaya terus berjalan dengan baik, kekuatan pengaruh budaya semakin dapat menjadikan budaya yang dominan sebagai acuan untuk bertindak dan bertingkah laku.
Lintas budaya menjadi suatu proses yang umum terjadi, hal ini karena komunikasi sangat mudah terjangkau, dan interaksi antar kelompok yang berbeda sangat mudah terjadi. Oleh karena itu segala kegiatan yang menjadi dasar bagi aktivitas perusahaan yang mengandung proses lintas budaya.
Perbedaan pola hidup akan menjadi suatu hambatan bagi berjalannya korporasi, masalah – masalah intern pegawai atau anggota korporasi dapat juga menjadi kendala. Biasanya pegawai yang berasal dari penduduk lokal sering diidentikan dengan orang yang malas–malas, tidak mau maju, dsb. Memungkinkan perlunya suatu usaha untuk melakukan monitoring, evaluasi dan audit sosial terhadap berjalannya korporasi yang di lakukan oleh orang tertentu yang memang berkeahlian di bidang tersebut.
Dalam interaksi sosial akan muncul di dalamnya identitas yang mencirikan golongan sosial dari individu yang bersangkutan berupa atribut – atribut/ciri – ciri, tanda, gaya bicara yang membedakan dengan atribut dari sukubangsa. Hubungan antar sukubangsa yang ada dalam wilayah cenderung mengarah pada penguasaan, maka akan muncul stereotype, prejudice, dan stigma social.
·         Stereotype adalah anggapan satu golongan terhadap golongan lainnya  dan biasanya anggapan ini berkaitan dengan keburukan – keburukan kelompok lain.
·         Prejudice merupakan prasangka dari golongan satu terhadap golongan lainnya.
·         Stigma adalah  suatu penilaian dari  satu golongan terhadap golongan lainnya untuk ber hati – hati dan kalau  bisa tidak berhubungan dengan golongan lain tersebut.
Stereotype, prejudice dan stigma sosial muncul karena pengalaman seorang individu dari golongan satu terhadap golongan lainnya dan kemudian individu tersebut mengabarkan pengalamannya tersebut. Akibat dari pengetahuan tentang sukubangsa lain  dari golongan sosial lain  akan dipakai sebagai referensi dalam pengetahuan budayanya untuk beradaptasi dengan dengan suku bangsa lain.

2.3 Mengapa perusahaan harus bertanggung jawab

Menurut saya, sebuah perusahaan harus memiliki tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.  Mengapa demikian? Karena bila kita fikirkan secara seksama, sebuah perusahaan tidak akan berdiri begitu saja tanpa adanya subjek-subjek yang berperan langsung dalam usaha tersebut baik subjek dari segi internal maupun eksternal perusahaan. Perusahaan ada karena permintaan konsumen terhadap suatu produk. Perusahaan dapat berkembang karena adanya keikutsertaan pemegang saham dan karyawan didalamnya. Bahkan sebuah perusahaan pun ada karena adanya izin dari masyarakat yang berada di sekitar lingkungan perusahaan. Rasa tanggung jawab akan menjadikan sebuah perusahaan akan berkembang dan kian maju.

Bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap konsumen :
·         Memberikan pelayanan yang baik terhadap para konsumen.
·         Kelayakan terhadap barang/jasa yang didapat oleh konsumen.
·         Meberikan bonus potongan teradap konsumen.


Bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan :
·         Mensejahterakan karyawan dengan cara memberikan gaji sesuai waktu kerja dan kinerjanya.
·         Memberikan rewards dalam bentuk tunjangan gaji.
·         Memberikan fasilitas kesehatan, seperti asuransi.

Bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap pemegang saham :
·         Berusaha jujur atas jalannya perusahaan, baik dari segi materil maupun non materil.
·         Harus ada rasa tanggung jawab atas investasi yang diberikan oleh seorang investor.
Bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan:
·         Dalam kasus sebuah pabrik, yaitu tidak membuang limbah pabrik secara sembarang karena dapat mencemari lingkungan
·         Melakukan rehabilitas lingkungan sekitar.
Organisasi bisnis memiliki empat tanggung jawab yakni :
·         Tanggung jawab ekonomi yakni memproduksi barang dan jasa yang bernilai bagi masyarakat.
·         Tanggung jawab hukum yakni perusahaan diharapkan mentaati hukum yang ditentukan oleh pemerintah
·         Tanggung jawab etika yakni perusahaan diharapkan dapat mengikuti keyakinan umum mengenai bagaimana orang harus bertindak dalam suatu masyarakat.
·         Tanggung jawab kebebasan memilih yakni tanggung jawab yang diasumsikan bersifat sukarela

2.4 Komunitas Indonesia dan Etika Bisnis

Indonesia memerlukan suatu bentuk etika bisnis yang sangat spesifik dan sesuai denga model indonesia. Hal ini dapat di pahami bahwa bila ditilik dari bentuknya, komunitas Indonesia, komunitas elite, dan komunitas rakyat.
Bentuk – bentuk pola hidup komunitas di indonesia sangat bervariasi dari berburu meramu sampai dengan industri jasa.
Dalam suatu kenyataan di komunitas indonesia pernah terjadi mala petaka kelaparan di daerah Nabire Papua. Bahwa komunitas Nabire mengkonsumsi sagu, pisang, ubi dan dengan keadaaan cuaca yang kemarau tanah tidak dapat mendukung pengolahan bagi tanaman ini, kondisi ini mendorong pemerintah dan perusahaan untuk dapat membantu komunitas tersebut. Dari gambaran ini tampak bawa tidak adanya rasa empati bagi komunitas elite dan perusahaan dalam memahami pola hidup komunitas lain.
Dalam konteks yang demikian, maka di tuntut bagi perusahaan untuk dapat memahami etika bisnis ketika berhubungan dengan stakeholder di luar perusahaannya seperti komunitas lokal atau kelompok sosial yang berbeda pola hidup.
Etika bisnis merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari dalam perusahaan itu sendiri. Bisnis selalu berhubungan dengan masalah-masalah etis dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Hal ini dapat dipandang sebagai etika pergaulan bisnis. Seperti halnya manusia pribadi juga memilki etika pergaulan antar manusia, maka pergaulan bisnis dengan masyarakat umum juga memiliki etika pergaulan yaitu etika pergaulan bisnis.
Dimensi etika dalam perusahaan
·         Etika adalah pandangan, kayakinan dan nilai akan sesuatu yang baik dan buruk, benar dan salah         (griffin)
·         Etika perusahaan adalah standar kelayakan pengelolaan organisasi yang memenuhi criteria etika.
Upaya perwujudan dan peningkatan etika perusahaan
·         Pelatihan etika
·         Advokasi etika
·         Kode etika
Keterlibatan public dalam etika perusahaan. Seorang teman Arif Budimanta mensitir kata–kata sukarno presiden pertama indonesia yang menyatakan bahwa “tidak akan di serahkan pengelolaan sumber daya alam Indonesia kepada pihak asng sebelum orang Indonesia mampu mengelolanya”, kalimat ini terkandung suatu pesan etika bisnis yang teramat dalam bahwa sebelum bangsa Indonesia dapat menyamai kemampuan asing, maka tidak akan mungkin wilayah Indonesia di serahkan kepada asing (pengelolaannya).
Jati diri bangsa perlu digali kembali untuk menetapkan sebuah etika yang berlaku secara umum bagi komunitas Indonesia yang multikultur ini. Jati diri merupakan suatu bentuk kata benda yang bermakna menyeluruh  sebagai sebuah kekuatan bangsa.

2.5 Dampak Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan apabila dilaksanakan dengan benar, akan memberikan dampak positif bagi perusahaan, lingkungan, termasuk sumber daya manusia, sumber daya alam dan seluruh pemangku kepentingan dalam masyarakat. Perusahaan yang mampu sebagai penyerap tenaga kerja, mempunyai kemampuan memberikan peningkatan daya beli masyarakat, yang secara langsung atau tidak, dapat mewujudkan pertumbuhan lingkungan dan seterusnya. Mengingat kegiatan perusahaan itu sifatnya simultan, maka keberadaan perusahaan yang taat lingkungan akan lebih bermakna.
Pada dasarnya setiap kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam, pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal perusahaan maupun bagi eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan yang lain. Meskipun demikian nilai positif tersebut dapat mendorong terjadinya tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang akhirnya mempunyai nilai negatif, karena merugikan lingkungan, masyarakat sekitar atau masyarakat lain yang lebih luas. Nilai negatif yang dimaksud adalah seberapa jauh kegiatan perusahaan yang bersangkutan mempunyai potensi merugikan lingkungan dan masyarakat. Atau seberapa luas perusahaan lingkungan terjadi sebagai akibat langsung dari kegiatan perusahaan.
Perusahaan yang pada satu sisi pada suatu waktu menjadi pusat kegiatan yang membawa kesejahteraan bahkan kemakmuran bagi masyarakat, pada satu saat yang sama dapat menjadi sumber petaka pada lingkungan yang sama pula. Misalnya terjadi pencemaran lingkungan atau bahkan menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan lain yang lebih luas.
Jadi perusahaan akan mempunyai dampak positif bagi kehidupan pada masa-masa yang akan datang dengan terpeliharanya lingkungan dan semua kepentingan pada pemangku kepentingan yang lain sehingga akan menghasilkan tata kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya para penentang pengaturan dan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan secara formal berpendapat apabila tanggung jawab tersebut harus diatur secara formal, disertai sanksi dan penegakan hukum yang riil. Hal itu akan menjadi beban perusahaan. Beban perusahaan akhirnya akan menjadi beban masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Oleh karena itu tanggung jawab sosial perusahaan sangat tepat apabila tetap sebagai tanggung jawab moral, dengan semua konsekuensinya.

2.6 Mekanisme Pengawasan Tingkah Laku

Mekanisme dalam pengawasan terhadap para karyawan sebagai anggota komunitas perusahaan dapat dilakukan berkenaan dengan kesesualan atau tidaknya tingkah laku anggota tersebut denga budaya yang dijadikan pedoman korporasi yang bersangkutan.
Mekanisme pengawasan tersebut berbentuk audit sosal sebagai kesimpulan dari monitoring dan evaluasi yang dilakukan sebelumnya. Monitoring da evaluasi terhadap tingkah laku anggota suatu perusahaan atau organisasi pada dasarnya harus dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan secara berkesinambugan. Monitoring yang dilakuka sifatnya berjangka pendek sedangkan evaluasi terhadap tingkah laku anggota perusahaan berkaitan dengan kebudayaan yang berlaku dilakukan dalam jangka panjang.
Hal dari evaluasi tersebut menjadi audit sosial.Pengawasa terhadap tingkah laku dan peran karyawan pada dasarnya untuk menciptakan kinerja karyawan itu sendiri yang mendukung sasaran dan tujuan dari proses berjalannya perusahaan. Kinerja yang baik adalah ketika tindakan yang diwujudkan sebagai peran yang sesuai dengan status dalam pranata yang ada dan sesuai dengan budaya perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, untuk mendeteksi apakah budaya perusaaan telah menjadi bagian dalam pengetahuan budaya para karyawannya dilakukan audit sosal dan sekaligus merencanakan apa aja yang harus dilakukan oleh perusahaan untuk menguatkan nilai-nilai yang ada agar para karyawan sebagai anggota perusahaan tidak memunculkan pengetahuan budaya yang dimilikinya di luar lingkungan perusahaan.
Dalam kehdupan komunitas atau komunitas secara umum, mekanismne pengawasan terhadap tindakan anggota-anggota komunitas biasanya berupa larangan-larangan dan sanksi-sanksi sosial yang terimplementasi di dalam atura adat. Sehingga tam[pak bahwa kebudayaan menjadi sebuah pedoman bagi berjalannya sebuah proses kehidupan komunitas atau komunitas. Tindaka karyawan berkenaan dengan perannya dalam pranata sosial perusahaan dapat menentukan keberlangsungan aktivitas.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Pada dasarnya setiap kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam, pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal perusahaan maupun bagi eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan yang lain. Meskipun demikian nilai positif tersebut dapat mendorong terjadinya tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang akhirnya mempunyai nilai negatif, karena merugikan lingkungan, masyarakat sekitar atau masyarakat lain yang lebih luas. Nilai negatif yang dimaksud adalah seberapa jauh kegiatan perusahaan yang bersangkutan mempunyai potensi merugikan lingkungan dan masyarakat. Atau seberapa luas perusahaan lingkungan terjadi sebagai akibat langsung dari kegiatan perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA




Kamis, 10 November 2016

PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI DAN PERUSAHAAN, HUBUNGAN BUDAYA DAN ETIKA,KENDALA DALAM MEWUJUDKAN KINERJA BISNIS ETIS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Budaya organisasi adalah persamaan persepsi yang dipegang oleh anggota organisasi dalam memberikan arti (share meaning) dari suatu sistem nilai yang ada. Persamaan persepsi ini penting mengingat bahwa anggota organisasi mempunyai latar belakang dan level yang berbeda.
Masing-masing karakteristik ini berada dalam suatu kesatuan, dari tingkat yang rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Menilai suatu organisasi dengan menggunakan tujuh karakter ini akan menghasilkan gambaran mengenai budaya organisasi tersebut. Gambaran tersebut kemudian menjadi dasar untuk perasaan saling memahami yang dimiliki anggota organisasi mengenai organisasi mereka, bagaimana segala sesuatu dikerjakan berdasarkan pengertian bersama tersebut, dan cara-cara anggota organisasi seharusnya bersikap.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka kami mendapatkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.   Apa saja karakteristik budaya organisasi ?
2.   Apa saja fungsi budaya organisasi ?
3.   Bagaimana pedoman dan tingkah laku ?
4.   Bagaimana apresiasi budaya ?
5.   Bagaimana  hubungan dan budaya ?
6.   Bagaimana pengaruh etika terhadap budaya ?
7.   Bagaimana kendala  mewujudkan kendala kinerja bisnis ?

1.3  Tujuan Pembuatan Paper
Penulisan ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui karakteristik budaya organisasi
2. Mengetahui fungsi budaya organisasi
3.   Mengetahui pedoman dan tingkah laku
4.   Mengetahui apresiasi budaya
5.   Mengetahui  hubungan dan budaya
6.   Mengetahui pengaruh etika terhadap budaya
7.   Mengetahui kendala  mewujudkan kendala kinerja bisnis

1.4 Manfaat Pembuatan Paper
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah agar para pembaca khususnya para calon pebisnis memiliki dan mengerti akan wawasan yang utuh mengenai karakteristik budaya organisasi, fungsi budaya organisasi, pedoman dan tingkah laku, apresiasi budaya, hubungan dan budaya, pengaruh etika terhadap budaya dan kendala  mewujudkan kendala kinerja bisnis sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kegiatan bisnis yang real di masyarakat pada umumnya.

1.5 Metode Pembuatan Paper
Kami membuat makalah ini dengan beberapa metode antara lain :
1.Kepustakaan yaitu mencari buku-buku yang berkaitan dengan materi yang kami bahas.
2.Pencarian ilmu dan teori yang berkaitan dengan materi yang kami bahas melalui Internet.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Budaya Organisasi
Karakteristik budaya organisasi, yaitu;
1.  Inovasi dan pengambilan resiko : tingkat daya dorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail : tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk mampu memperlihatkan ketepatan, analisis dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi terhadap hasil : tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk lebih memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.
4. Orientasi terhadap individu: tingkat keputusan manajemen dalam mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam organisasi.
5. Orientasi terhadap tim : tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan.
6. Agretivitas : tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.
7. Stabilitas : tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam memper-tahankan status quo berbanding pertumbuhan.

2.2  Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi budaya organisasi adalah sebagai tapal batas tingkah laku individu yang ada didalamnya.
Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

2.3 Pedoman Tingkah Laku
Terdapat tiga faktor yang menjelaskan perbedaan pengaruh budaya yang dominan terhadap perilaku, yaitu:
1.   Keyakinan dan nilai-nilai bersama.
2.   Dimiliki bersama secara luas.
3.   Dapat diketahui dengan jelas, mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap perilaku.
2.4  Apresisasi Budaya
Apresiasi Budaya adalah pemahaman dan pengenalan secara tepat sehingga tumbuh penghargaan dan penilaian terhadap hasil budaya  kegiatan menggauli hasil budaya dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap hasil karya
Apresiasi kebudayaan adalah penghargaan dan pemahaman atas budaya (Natawidjaja, 1980), kegiatan menggauli (kebudayaan) dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik (terhadap kebudayaan) (Effendi, 1974), pendek kata, penghargaan (terhadap kebudayaan) yang didasarkan pada pemahaman (Sudjiman, 1984).

2.5 Hubungan Etika dan Budaya
Hubungan etika dan budaya antara lain :
1. Etika dalam implementasinya dipengaruhi oleh agama dan budaya
2. Agama dan budaya dianggap sebagai sumber hukum, peraturan dan kode etik.
3. Sebagai sumber maka agama dan budaya lebih independen.
Hubungan etika dengan budaya perusahaan
Etika merupakan standar moral yang menyangkut baik-buruk  dan benar-salah
Etika bisnis meliputi:
-          Etika perusahaan
Hubungan perusahaan dengan karyawan sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya
-            Etika kerja
 Hubungan antara perusahaan dengan karyawan
-          Etika perorangan
Hubungan antar karyawan

2.6  Pengaruh Etika terhadap Budaya
Perilaku etis dapat menimbulkan saling percaya antara perusahaan dengan stakeholder. Perilaku etis dapat mencegah pelanggan, pegawai dan pemasok bertindak oportunis, serta tumbuhnya saling percaya. Budaya perusahaan memberi kontribusi signifikan terhadap pembentukan perilaku etis. Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku etis atau sebaliknya dapat mendorong terciptanya perilaku tidak etis
Faktor yang menyebabkan terciptanya iklim etika dalam perusahaan:
-          Terciptanya budaya perusahaan secara baik.
-          Terbangunnya suatu kondisi organisasi berdasarkan saling percaya.
-          Terbentuknya manajemen hubungan antar pegawai.

2.7  Kendala Mewujudkan Kinerja Bisnis
Pencapaian tujuan etika bisnis di Indonesia masih berhadapan dengan beberapa masalah dan kendala. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa kendala tersebut yaitu:
1.    Standar moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku bisnis yang lebih suka menempuh jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan campuran, timbangan, ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan keuangan.

2.    Banyak perusahaan yang mengalami konflik kepentingan.
Konflik kepentingan ini muncul karena adanya ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianutnya atau antara peraturan yang berlaku dengan tujuan yang hendak dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi yang dianutnya dengan praktik bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya, atau antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Orang-orang yang kurang teguh standar moralnya bisa jadi akan gagal karena mereka mengejar tujuan dengan mengabaikan peraturan.

3.      Situasi politik dan ekonomi yang belum stabil.
Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik yang dimainkan oleh para elit politik, yang di satu sisi membingungkan masyarakat luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak yang mencari dukungan elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang buruk tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.

4.      Lemahnya penegakan hukum.
Banyak orang yang sudah divonis bersalah di pengadilan bisa bebas berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di pemerintahan. Kondisi ini mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.

5.   Belum ada organisasi profesi bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan manajemen.
Organisasi seperti KADIN beserta asosiasi perusahaan di bawahnya belum secara khusus menangani penyusunan dan penegakkan kode etik bisnis dan manajemen.

BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Budaya organisasi adalah persamaan persepsi yang dipegang oleh anggota organisasi dalam memberikan arti (share meaning) dari suatu sistem nilai yang ada. Menilai suatu organisasi dengan menggunakan tujuh karakter ini akan menghasilkan gambaran mengenai budaya organisasi tersebut. Fungsi budaya organisasi adalah sebagai tapal batas tingkah laku individu yang ada didalamnya. Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku etis atau sebaliknya dapat mendorong terciptanya perilaku tidak etis.


DAFTAR PUSTAKA


http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Rosita%20Endang%20Kusmaryani,%20M.Si./BUDAYA%20ORGANISASI.pdf
https://duniatugasasri.wordpress.com/2013/06/11/fungsi-budaya-organisasi/







PRESPEKTIF ETIKA BISNIS DALAM AJARAN ISLAM DAN BARAT, ETIKA PROFESI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika adalah acode or set of principles which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia). bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari peradaban. Dalam hal ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan perilakunya. Jika barat meletakkan "Akal" sebagai dasar kebenarannya. Maka, Islam meletakkan "Al-Qur'an" sebagai dasar kebenaran.
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka kami mendapatkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.                  Apa saja aspek etika  bisnis islami ?
2.                  Bagaimana teori ethical egoism ?
3.                  Bagaimana teori relativisme ?
4.                  Bagaimana konsep deontology ?
5.                  Bagaimana  pengertian profesi ?
6.                  Bagaimana pengertian kode etik ?
7.                  Bagaimana prinsip etika profesi ?

1.3  Tujuan Pembuatan Paper
Penulisan ini bertujuan untuk :
1.      Mengetahui aspek etika  bisnis islami
2.      Mengetahui teori ethical egoism
3.      Mengetahui teori relativisme
4.      Mengetahui konsep deontology
5.      Mengetahui  pengertian profesi
6.      Mengetahui pengertian kode etik
7.      Mengetahui prinsip etika profesi

1.4  Manfaat Pembuatan Paper
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah agar para pembaca khususnya para calon pebisnis memiliki dan mengerti akan wawasan yang utuh mengenai aspek etika  bisnis islami, teori ethical egoism, teori relativisme, konsep deontology, pengertian profesi, pengertian kode etik dan prinsip etika profesi sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kegiatan bisnis yang real di masyarakat pada umumnya.

1.5  Metode Pembuatan Paper
Kami membuat makalah ini dengan beberapa metode antara lain :
1.Kepustakaan yaitu mencari buku-buku yang berkaitan dengan materi yang kami bahas.
2.Pencarian ilmu dan teori yang berkaitan dengan materi yang kami bahas melalui Internet

  

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aspek etika bisnis islami

1. Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.
2. Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan.
Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” (Q.S. al-Isra’: 35).
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 8 yang artinya: “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa.”
3. Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.
4. Tanggung jawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
5. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan.

2.2 Teori Ethical Egoism
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar. Egoisme bermaksud bahawa sesuatu tindakan adalah betul dengan melihat kepada kesan tindakan kepada individu. lndividu yang berpegang kepada falsafah ini percaya bahawa mereka harus mengambil keputusan yang dapat memaksimumkan faedah kepada diri sendiri. Terma “egoisme” berasal dari perkataan “ego”, perkataan Latin untuk “aku” dalam Bahasa Malaysia. Egoisme perlu dibezakan dengan egotisme yang bermaksud penilaian berlebihan psikologi terhadap kepentingan sendiri atau aktiviti sendiri. Teori ini adalah bersifat individualistik.
Terdapat dua kategori utama Egoisme iaitu Psychological Egoism dan Ethical Egoism.
(a)    Egoisme Secara Psikologi
Psychological Egoism berpandangan bahawa setiap ormg sentiasa didorong oleh tindakan untuk kepentingan diri. lanya juga mendakwa bahawa manusia sentiasa melakukan perkara-perkara yang dapat memuaskan hati mereka ataupun yang mempunyai kepentingan peribadi. Teori ini menerangkan bahawa tidak kira apa alasan yang diberikan oleh seseorang, individu sebenarnya bertindak sedemikian sematamata untuk memenuhi hasrat peribadi. Sekiranya pandangan ini benar maka keseluruhan prinsip etika adalah tidak berguna lagi.
(b)   Egoisme Etikal
Ethical Egoism menegaskan bahawa kita tidak harus mengabaikan secara mutlak kepentingan orang lain tetapi kita patut mempertimbangkannya apabila tindakan itu secara langsung akan membawa kebaikan kepada diri sendiri. Ethical Egoism adalah berbeza dengan prinsip-prinsip moral seperti sentiasa bersikap jujur, amanah dan bercakap benar. la kerana tindakan tersebut didorong oleh nilai-nilai luhur yang sedia ada dalam diri manakala dalam konteks ethical egoism pula sesuatu tindakan adalah didorong oleh kepentingan peribadi. Misalnya, seseorang individu yang memohon pinjaman akan memaklumkan kepada pegawai bank tentang kesilapan pihak bank bukan atas dasar tanggungjawab tetapi kerana beliau mempunyai kepentingan diri.

2.3 Teori Relativisme
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif. Sejalan dengan arti katanya, secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya. Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Ajaran seperti ini dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum Skeptik.
makna relativisme seperti yang tertera dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Lebih lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.

2.4 Konsep Deontology
Berasal dari bahasa yunani Deon yang berarti kewajiban/ Sesuatu yang harus.  Etika deontology ini lebih menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak secara baik menurut teori ini tindakan baik bukan berarti harus mndatangkan kebaikan namun berdasarkan baik pada dirinya sendiri jikalau kita bisa katakana ini adalah mutlak harus dikerjakan tanpa melihat berbagai sudut pandang. Konsep ini menyiratkan adanya perbedaan kewajiban yang hadir bersamaan. Artinya ada sebuah persoalan yang kadang baik dilihat dari satu sisi, namun juga terlihat buruk dari sudut pandang lain.

2.5 Pengertian Profesi
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess", yang dalam bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen".
Profesi juga sebagai pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi , kode etik , serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum ,kedokteran , keuangan, militer ,teknik desainer, tenaga pendidik.
Seseorang yang berkompeten di suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walau demikian, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.

2.6 Kode Etik
Pengertian kode etik dan tujuannya – Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai & juga aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar & baik & apa yang tidak benar & tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa saja yang benar / salah, perbuatan apa yang harus dilakukan & perbuatan apa yang harus dihindari. Atau secara singkatnya definisi kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis ketika melakukan suatu kegiatan / suatu pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan / tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Tujuan kode etik yaitu supaya profesional memberikan jasa yang sebaik-baiknya kepada para pemakai atau para nasabahnya. Dengan adanya kode etik akan melindungi perbuatan dari yang tidak profesional.

2.7 Prinsip Etika Profesi
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia.

1. Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2. Prinsip kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya .prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya .jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.
3. Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
4. Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam melayani masyarakat.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari peradaban. Dalam hal ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan perilakunya. Jika barat meletakkan "Akal" sebagai dasar kebenarannya. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mustaq Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)2001
Badroen, Faishal dkk. Etika Bisnis Dalam Islam,(Jakarta : Kencana) 2007
Basyir, Ahmad Azhar. Asas-Asas Hukum Mu`amalat.(Yogyakarta : UII Press) 2000
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia)2002
Karim, M. Rusli Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana)1992
Raharjo, M. Dawam Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi. (Jakarta : LP3ES)1995
http://putfatma.blogspot.co.id/2015/11/perspektif-etika-bisnis-dalam-ajaran.html
http://ihsanfadhilah21.blogspot.co.id/2015/11/beberapa-aspek-etika-bisnis-islami.html