BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
salah
satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika
adalah acode or set of principles which people live (kaedah atau seperangkat
prinsip yang mengatur hidup manusia). bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi
substansial yang membekali para pelaku bisnis. Masyarakat Islam adalah
masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari peradaban. Dalam hal ini, etika
dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan
dan perilakunya. Jika barat meletakkan "Akal" sebagai dasar
kebenarannya. Maka, Islam meletakkan "Al-Qur'an" sebagai dasar
kebenaran.
Tuntutan
profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing
profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku
untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang
paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja
prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada
umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum
profesional sejauh mereka adalah manusia
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang maka kami mendapatkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa
saja aspek etika bisnis islami ?
2.
Bagaimana
teori ethical egoism ?
3.
Bagaimana
teori relativisme ?
4.
Bagaimana
konsep deontology ?
5.
Bagaimana pengertian profesi ?
6.
Bagaimana
pengertian kode etik ?
7.
Bagaimana
prinsip etika profesi ?
1.3 Tujuan Pembuatan Paper
Penulisan
ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui
aspek etika bisnis islami
2.
Mengetahui
teori ethical egoism
3.
Mengetahui
teori relativisme
4.
Mengetahui
konsep deontology
5.
Mengetahui pengertian profesi
6.
Mengetahui
pengertian kode etik
7.
Mengetahui
prinsip etika profesi
1.4 Manfaat Pembuatan Paper
Manfaat dari
pembuatan makalah ini adalah agar para pembaca khususnya para calon pebisnis
memiliki dan mengerti akan wawasan yang utuh mengenai aspek etika bisnis islami, teori ethical egoism, teori
relativisme, konsep deontology, pengertian profesi, pengertian kode etik dan
prinsip etika profesi sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kegiatan bisnis
yang real di masyarakat pada umumnya.
1.5 Metode Pembuatan Paper
Kami
membuat makalah ini dengan beberapa metode antara lain :
1.Kepustakaan yaitu mencari
buku-buku yang berkaitan dengan materi yang kami bahas.
2.Pencarian ilmu dan teori yang
berkaitan dengan materi yang kami bahas melalui Internet
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Aspek etika bisnis islami
1. Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan
sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan
aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi
keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan
yang menyeluruh.
2. Keseimbangan
(Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk
berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim.
Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang
yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang
lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang
selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis
pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah
kepercayaan.
Al-Qur’an memerintahkan kepada
kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan
sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
“Dan sempurnakanlah takaran
apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” (Q.S. al-Isra’: 35).
Dalam beraktivitas di dunia kerja
dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak
yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah
ayat 8 yang artinya: “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa.”
3. Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian
penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan
kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan
pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja
dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kecenderungan manusia untuk terus
menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan
adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak
dan sedekah.
4. Tanggung jawab
(Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah
suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya
pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan
kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip
ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa
yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang
dilakukannya.
5. Kebenaran: kebajikan dan
kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini
selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua
unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan
sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi)
proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya
meraih atau menetapkan keuntungan.
2.2
Teori Ethical Egoism
Inti pandangan egoisme adalah
bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi
dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang
adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru
menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika
kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai
kenikmatan fisik yg bersifat vulgar. Egoisme bermaksud bahawa sesuatu tindakan
adalah betul dengan melihat kepada kesan tindakan kepada individu. lndividu
yang berpegang kepada falsafah ini percaya bahawa mereka harus mengambil
keputusan yang dapat memaksimumkan faedah kepada diri sendiri. Terma “egoisme”
berasal dari perkataan “ego”, perkataan Latin untuk “aku” dalam Bahasa
Malaysia. Egoisme perlu dibezakan dengan egotisme yang bermaksud penilaian
berlebihan psikologi terhadap kepentingan sendiri atau aktiviti sendiri. Teori
ini adalah bersifat individualistik.
Terdapat dua kategori utama Egoisme
iaitu Psychological Egoism dan Ethical Egoism.
(a)
Egoisme
Secara Psikologi
Psychological Egoism berpandangan
bahawa setiap ormg sentiasa didorong oleh tindakan untuk kepentingan diri.
lanya juga mendakwa bahawa manusia sentiasa melakukan perkara-perkara yang
dapat memuaskan hati mereka ataupun yang mempunyai kepentingan peribadi. Teori
ini menerangkan bahawa tidak kira apa alasan yang diberikan oleh seseorang,
individu sebenarnya bertindak sedemikian sematamata untuk memenuhi hasrat
peribadi. Sekiranya pandangan ini benar maka keseluruhan prinsip etika adalah
tidak berguna lagi.
(b)
Egoisme
Etikal
Ethical Egoism menegaskan bahawa
kita tidak harus mengabaikan secara mutlak kepentingan orang lain tetapi kita
patut mempertimbangkannya apabila tindakan itu secara langsung akan membawa
kebaikan kepada diri sendiri. Ethical Egoism adalah berbeza dengan
prinsip-prinsip moral seperti sentiasa bersikap jujur, amanah dan bercakap
benar. la kerana tindakan tersebut didorong oleh nilai-nilai luhur yang sedia
ada dalam diri manakala dalam konteks ethical egoism pula sesuatu tindakan
adalah didorong oleh kepentingan peribadi. Misalnya, seseorang individu yang
memohon pinjaman akan memaklumkan kepada pegawai bank tentang kesilapan pihak
bank bukan atas dasar tanggungjawab tetapi kerana beliau mempunyai kepentingan
diri.
2.3
Teori Relativisme
Relativisme berasal dari kata
Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif. Sejalan dengan arti katanya,
secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika,
moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena
faktor-faktor di luarnya. Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme
berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah
tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya. Ajaran seperti
ini dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum
Skeptik.
makna relativisme seperti yang
tertera dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan,
kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun
konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Lebih lanjut
ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang dikatakan
benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa
berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun
kondisi sosial.
2.4
Konsep Deontology
Berasal dari bahasa yunani Deon
yang berarti kewajiban/ Sesuatu yang harus.
Etika deontology ini lebih menekankan pada kewajiban manusia untuk
bertindak secara baik menurut teori ini tindakan baik bukan berarti harus
mndatangkan kebaikan namun berdasarkan baik pada dirinya sendiri jikalau kita
bisa katakana ini adalah mutlak harus dikerjakan tanpa melihat berbagai sudut
pandang. Konsep ini menyiratkan adanya perbedaan kewajiban yang hadir
bersamaan. Artinya ada sebuah persoalan yang kadang baik dilihat dari satu
sisi, namun juga terlihat buruk dari sudut pandang lain.
2.5
Pengertian Profesi
Profesi adalah kata serapan dari
sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess", yang dalam bahasa Yunani
adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi
kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen".
Profesi juga sebagai pekerjaan
yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus.
Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi , kode etik , serta proses
sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh
profesi adalah pada bidang hukum ,kedokteran , keuangan, militer ,teknik
desainer, tenaga pendidik.
Seseorang yang berkompeten di
suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walau demikian, istilah
profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai
lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran
untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri
umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.
2.6
Kode Etik
Pengertian kode etik dan
tujuannya – Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai & juga aturan
profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar & baik
& apa yang tidak benar & tidak baik bagi profesional. Kode etik
menyatakan perbuatan apa saja yang benar / salah, perbuatan apa yang harus
dilakukan & perbuatan apa yang harus dihindari. Atau secara singkatnya
definisi kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis
ketika melakukan suatu kegiatan / suatu pekerjaan. Kode etik merupakan pola
aturan / tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Tujuan kode etik yaitu supaya
profesional memberikan jasa yang sebaik-baiknya kepada para pemakai atau para
nasabahnya. Dengan adanya kode etik akan melindungi perbuatan dari yang tidak
profesional.
2.7
Prinsip Etika Profesi
Tuntutan profesional sangat erat
hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu
berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di
sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku
untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal
sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi
semua orang, juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia.
1. Pertama, prinsip tanggung
jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang
yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab.
Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap
hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan
juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin
dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan moto
yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan
dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat
mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan
profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan
profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung
jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain
khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana
profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja,
ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam.
Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah
melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2. Prinsip kedua adalah prinsip
keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam
menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu,
khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula.
Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional
tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang
mungkin tidak membayar jasa profesionalnya .prinsip “siapa yang datang pertama
mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret prinsip
keadilan dalam arti yang seluas-luasnya .jadi, orang yang profesional tidak
boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu
jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional
dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar
secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering
terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut seringkali
memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar
seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang
miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti
ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme,
karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani
masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.
3. Prinsip ketiga adalah prinsip
otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional
terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan
profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu
sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang
profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam
pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah.
Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan
karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi
ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan
profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna
bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu
tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang
dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang
dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan
oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan
oleh profesional tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya
batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan
komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta
(dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh
disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh
tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya
secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua,
otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat
pertama menghargai otonom kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada
waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak
sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak
sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang
otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak
dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak
dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi
berlaku dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak
pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini
hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan
kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi itu sendiri. Adapun
kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah dapat dimisalkan
adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada profesi penghulu, yang
misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh
lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
4. Prinsip integritas moral.
Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang
yang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral
yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran
profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan
demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas
dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai
merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan
menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak
melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena
itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan
apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung
tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi
menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun
untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai
nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah
terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan
semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah
sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral,
khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini
terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia
rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu.
Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut
punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut
profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara
langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru
lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh
profesi kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang)
dokter tersebut dalam melayani masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Etika
bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis. Masyarakat
Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari peradaban. Dalam hal
ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan
kehidupan dan perilakunya. Jika barat meletakkan "Akal" sebagai dasar
kebenarannya. Kecurangan
dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan
bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan
kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Mustaq Etika Bisnis dalam
Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)2001
Badroen, Faishal dkk. Etika
Bisnis Dalam Islam,(Jakarta : Kencana) 2007
Basyir, Ahmad Azhar. Asas-Asas
Hukum Mu`amalat.(Yogyakarta : UII Press) 2000
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam,
Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia)2002
Karim, M. Rusli Berbagai Aspek
Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana)1992
Raharjo, M. Dawam Etika Bisnis
Menghadapi Globalisasi. (Jakarta : LP3ES)1995
http://putfatma.blogspot.co.id/2015/11/perspektif-etika-bisnis-dalam-ajaran.html
http://ihsanfadhilah21.blogspot.co.id/2015/11/beberapa-aspek-etika-bisnis-islami.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar